Seorang narapidana di Lapas Kelas II B Cianjur, J (30), ditemukan tewas bunuh diri. Kejadian ini telah mengundang perhatian luas dan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kondisi mental dan fisik seorang tahanan di dalam penjara.
Pada tanggal 21 Agustus 2025, sekitar pukul 12.00 WIB, J yang sedang menjalani hukuman dua tahun enam bulan karena kasus pencurian ditemukan menggantung di dalam kamar isolasi. Penemuan ini dilakukan oleh tiga rekan sekamarnya yang tengah bersiap untuk salat, yang terkejut saat melihat kondisi J yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kondisi Mental dan Fisik Narapidana
J adalah seorang warga dari Cianjur selatan yang telah menjalani hukuman selama satu tahun. Penempatannya dalam blok isolasi adalah akibat dari penyakit TBC yang dideritanya. Situasi ini menunjukkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental tahanan, dimana penyakit kronis dapat memengaruhi keadaan psikologis seseorang, khususnya dalam lingkungan yang menekan seperti penjara.
Data menunjukkan bahwa banyak narapidana mengalami stres yang berat dan masalah kesehatan mental selama menjalani masa hukumannya. Menurut beberapa studi, kondisi seperti depresi dan kecemasan sering kali menjadi tantangan besar bagi mereka yang berada di balik jeruji besi. Munculnya penyakit fisik seperti TBC dapat memperparah kondisi ini, sehingga penting bagi pihak Lapas untuk menerapkan langkah-langkah preventif dan rehabilitatif bagi narapidana.
Strategi Evaluasi dan Keamanan di Lapas
Setelah peristiwa tragis tersebut, pihak Lapas menyatakan akan meningkatkan kontrol dan evaluasi terhadap para tahanan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Hal ini merupakan langkah penting mengingat tidak adanya tanda-tanda kegelisahan yang terlihat pada diri J sebelum kejadian. Bahkan, ia terlihat cukup normal menjalani aktivitas sehari-harinya.
Tindakan proaktif seperti ini tidak hanya akan mengurangi risiko bagi narapidana, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua penghuni Lapas. Kebijakan yang lebih baik dan pelatihan bagi petugas juga sangat dibutuhkan untuk mengenal tanda-tanda awal gangguan mental pada tahanan. Dengan demikian, langkah-langkah pencegahan dapat diterapkan lebih efektif.
Dari perspektif humanis, kejadian ini mengingatkan kita tentang pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental di dalam sistem penegakan hukum. Kesehatan fisik dan mental adalah dua bagian yang tidak terpisahkan dan harus mendapatkan perhatian yang sama. Di era modern ini, masih banyak stigma terkait dengan kesehatan mental, yang harus diatasi agar individu dapat mendapatkan penanganan yang tepat.
Dengan memperhatikan semua aspek ini, diharapkan masa depan sistem pemasyarakatan dapat lebih baik dan lebih berfokus pada rehabilitasi narapidana, sehingga mereka dapat kembali reintegrasi ke masyarakat dengan sehat dan produktif.
