Kabar terbaru mengenai politik Indonesia menarik perhatian publik ketika Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini berkaitan dengan ijazah SMA yang digunakan Gibran sebagai syarat pencalonan dalam Pilpres 2024. Nomor perkara yang terdaftar adalah 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, dengan penggugat bernama Subhan yang juga menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat.
Subhan berargumen bahwa ijazah SMA Gibran, yang diperoleh di luar negeri, tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UU Pemilu dan peraturan KPU. Menurutnya, syarat pendidikan minimal tersebut hanya berlaku untuk sekolah yang beroperasi di bawah hukum Indonesia.
Ketersediaan Ijazah dan Hukum Pemilu
Persoalan ijazah yang berstatus luar negeri ini tentu memicu perdebatan. Dalam hukum pemilu, ada ketentuan yang mempertegas bahwa syarat pendidikan minimal SMA, SMK, MA, atau sederajat haruslah berasal dari lembaga pendidikan yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Gibran, dalam posisinya, dinyatakan tidak memenuhi syarat jika ijazah yang dibawanya bukan berasal dari sekolah yang terakreditasi di Indonesia. Hal ini bisa menjadi preseden penting bagi calon-calon lain di masa mendatang.
Apa yang diungkapkan Subhan mengenai keabsahan ijazah ini menciptakan diskusi yang lebih luas tentang sistem pendidikan di Indonesia dan dampaknya terhadap dunia politik. Banyak yang mendukung pandangan ini, dengan alasan bahwa untuk menjamin keadilan dan kesetaraan, semua calon pemimpin harus memiliki latar belakang pendidikan yang diakui secara nasional.
Gugatan dan Dampaknya terhadap Gibran
Dalam gugatannya, Subhan menuntut agar Gibran dinyatakan tidak sah sebagai Wakil Presiden. Ia juga menuntut ganti rugi sebesar Rp125 triliun yang dianggap sebagai kerugian immateriil bagi masyarakat. Subhan menyatakan bahwa jika dihitung, setiap warga negara bisa mendapatkan kompensasi Rp5.000. Ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya menginginkan kejelasan hukum, tetapi juga memberikan dampak finansial yang luas jika gugatannya diterima.
Sidang perdana yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Budi Prayitno juga menghadirkan beberapa tantangan, terutama dengan kehadiran Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Gibran. Subhan keberatan dan menegaskan bahwa gugatan ini ditujukan langsung kepada Gibran sebagai individu, bukan dalam kapasitas jabatannya. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah yang dihadapi bukanlah sekadar legalitas, tetapi juga reputasi dan kredibilitas Gibran di mata masyarakat.
Proses hukum yang sedang berlangsung ini, tentu saja, akan mempengaruhi pandangan publik terhadap kepemimpinan Gibran dalam periode mendatang. Bahkan, jika gugatan ini berlanjut dan menghasilkan keputusan yang tidak menguntungkan bagi Gibran, hal tersebut bisa memicu pertanyaan lebih lanjut mengenai integritas dan kredibilitas pemimpin lainnya. Sementara itu, pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana KPU dan institusi terkait lainnya akan menanggapi situasi ini di masa depan.
Gugatan ini adalah pengingat betapa pentingnya kepatuhan terhadap ketentuan hukum dalam dunia politik. Apakah hasil sidang ini akan menjadi dasar hukum baru dalam penetapan syarat calon pemimpin di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi yang pasti, diskusi ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana sistem pendidikan dan hukum kita dibentuk untuk mendukung demokrasi yang lebih adil.
