Di balik tembok Lapas Dabo Singkep, seorang narapidana bernama MN (inisial) mengungkapkan keluhan dan harapannya. Sudah sebulan ia dipindahkan dari Lapas Batam, dan kini merasakan perbedaan signifikan dalam kualitas hidup dan perlakuan yang diterima.
Melalui sambungan WhatsApp yang diberikan, MN menyampaikan rasa kecewa mendalam terhadap kondisi di tempat baru ini. “Kami merasa dibuang di Lapas Dabo ini,” ucapnya dengan nada yang berat, seperti menanggung beban yang sangat berat di pundaknya.
Perbedaan Pelayanan Kesehatan Narapidana
MN menjalani hukuman karena kasus narkoba, dan salah satu masalah utama yang ia hadapi adalah pelayanan kesehatan. Ketika di Lapas Batam, biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah. Namun, di Lapas Dabo, ia harus menanggung sendiri biaya berobat.
“Di sini, kalau kami sakit, biaya berobat ditanggung sendiri. Padahal di Batam semuanya gratis. Dari mana kami bisa dapat uang, kalau untuk berobat saja harus bayar?” ujarnya, menekankan betapa sulitnya keadaan tersebut. Kesehatan adalah hal yang vital, dan beban tambahan dalam bentuk biaya pengobatan justru memperburuk situasi mereka.
Makanan dan Kenangan Akan Rumah
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah soal makanan. MN mengungkapkan bahwa menu makanan di Lapas Dabo jauh dari harapan. Jika di Lapas Batam makanan yang disajikan terasa lebih layak, di Dabo jumlah dan kualitasnya sangat minim. Ia merasa makanan yang ada tidak dapat memuaskan rasa laparnya.
“Kalau di Batam lauknya lengkap, enak. Di sini… payah nak cakap lah bang, jauh kali bedanya,” akunya. Meski ia bersyukur bahwa makanan yang disajikan masih bisa dimakan, rasa lapar yang tak terpuaskan semakin menambah kerinduan akan rumah dan suasana yang lebih familiar.
Harapan dari Dalam Tembok Penjara
Seiring dengan semua kesulitan yang dihadapi, MN masih menyimpan harapan bahwa hak-hak dasar narapidana seperti kesehatan dan makanan yang layak tidak diabaikan. Walaupun ia menyadari bahwa sebagai narapidana, banyak hal yang telah hilang dalam hidupnya, ia berharap ada perhatian lebih terhadap kesejahteraan narapidana di Lapas Dabo.
“Kami di sini bukan orang berada. Kalau berobat harus bayar, mau dapat darimana uangnya?” Ia menyampaikan pesan ini dengan harapan agar suaranya, yang mewakili banyak narapidana lainnya, bisa didengar dan direspons oleh pihak berwenang.
Sementara itu, upaya untuk mengonfirmasi kondisi ini kepada Kepala Lapas Kelas III Dabo Singkep belum berhasil. Pesan yang dikirim melalui aplikasi masih belum mendapat tanggapan. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang tanggung jawab lembaga dalam memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada narapidana di tempat tersebut.