Pada tahun 2025, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa musim kemarau mengalami perubahan signifikan, dengan durasi yang lebih pendek dan mundur dari jadwal yang biasanya. Hingga awal Juni 2025, hanya sekitar 19 persen wilayah di Indonesia yang benar-benar memasuki musim kemarau. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi banyak pihak: apakah ini efek dari perubahan iklim?
Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa meskipun kalender klimatologis menunjukkan kemarau seharusnya sudah dimulai, sebagian besar wilayah di Indonesia masih mendapati diri mereka dalam musim hujan. Sebagian besar curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya selama bulan April hingga Mei 2025 menyebabkan keterlambatan peralihan menuju musim kemarau.
Kondisi Curah Hujan yang Berubah
Kemunduran musim kemarau tahun ini, seperti yang dijelaskan oleh Dwikorita Karnawati, disebabkan oleh curah hujan di atas normal. BMKG telah meramalkan hal ini sebelumnya melalui prakiraan iklim bulanan yang dirilis pada Maret. Peningkatan curah hujan terjadi di wilayah selatan Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Menurut analisis BMKG, 72 persen wilayah Indonesia menunjukkan curah hujan normal, sementara 23 persen berada dalam kategori bawah normal. Hal ini menandakan mulai adanya tren penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah, meskipun tidak merata. Wilayah seperti Sumatera dan Kalimantan telah mengalami beberapa periode dengan curah hujan lebih rendah dibandingkan normal, sehingga transisi menuju musim kemarau lebih jelas terlihat di area tersebut. Ini menciptakan tantangan baru bagi para petani di daerah yang lebih banyak hujan.
Dampak Musim Kemarau yang Tidak Biasa
Dampak dari kondisi curah hujan yang tidak biasa ini membawa dua sisi yang sangat berbeda. Di satu sisi, hujan yang tetap ada selama musim kemarau dapat memberikan keuntungan bagi petani padi karena akses air irigasi tetap terjaga, mendukung keberlangsungan masa tanam. Namun, di sisi lain, kondisi ini sangat berisiko bagi pertanian hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat, yang sensitivitasnya terhadap kelembapan tinggi membuatnya rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Oleh karena itu, petani hortikultura dianjurkan untuk mempersiapkan sistem drainase yang baik dan melindungi tanaman agar tetap aman. Situasi ini jelas menunjukkan pentingnya kesiapsiagaan, baik dari pihak pemerintah daerah maupun masyarakat dalam merespons dinamika cuaca yang semakin tidak pasti. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, adaptasi harus dilakukan dengan cepat dan tepat agar berbagai sektor dapat bertahan.
Informasi dari BMKG yang akurat dan terukur menjadi dasar yang sangat penting dalam menyusun kebijakan dan strategi adaptasi, mulai dari pengelolaan sumber daya air hingga penanggulangan bencana. Memanfaatkan data dan analisis akan membantu dalam memahami dan menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini.
Secara keseluruhan, musim kemarau tahun ini bukan hanya sebuah tantangan, tetapi juga merupakan kesempatan untuk menguji bagaimana kita dapat beradaptasi terhadap perubahan iklim yang semakin kompleks. Terus berkomitmen untuk memberikan informasi yang relevan dan tepat waktu, BMKG berharap dapat membantu masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menghadapi perubahan cuaca di masa depan.